Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Melamar yang islami itu adalah melamar yang tidak melanggar
ketentuan syariah. Tentang teknik dan gayanya, silahkan disesuaikan
dengan adat dan kebiasaan yang berlaku pada tiap masyarakat.
Perbedaan Khitbah Dengan Pertunangan
Makna khitbah dalam bahasa Indonesia ada bermacam terjemahan, antara
lain bermakna melamar atau meminang. Namun khitbah tidak selalu sama
dengan pertunangan.
Pertunangan adalah semacam upacara atau ritual tertentu yang
meresmikan bahwa suatu pasangan itu sepakat mau menikah nantinya. Budaya
ini datang dari Barat, biasanya ditandai dengan disematkannya cincin
pertunangan di jari masing-masing calon pasangan.
Sedangkan bertunangan sendiri bukan sesuatu yang original datang dari
syariah Islam. Bisa saja orang menggelar acara pertunangan, tetapi di
dalamnya belum tentu berupa khitbah. Atau kadang sebenarnya merupakan
khitbah, tetapi diberi nama pertunangan. Sebab antara keduanya memang
ada perbedaan yang mendasar.
Perbedaannya terletak pada langkahnya. Khitbah adalah pengajuan
lamaran atau pinangan kepada pihak wanita. Namun pengajuan ini sifatnya
belum lantas berlaku, karena belum tentu diterima. Pihak wanita bisa
saja meminta waktu untuk berpikir dan menimbang-nimbang atas permintaan
itu untuk beberapa waktu.
Apabila khitbah itu diterima, maka barulah wanita itu menjadi wanita
yang berstatus makhthubah (مخطوبة), yaitu wanita yang sudah dilamar,
sudah dipinang, atau bisa disebut dengan wanita yang sudah
dipertunangkan.
Namun apabila khitbah itu tidak diterima, misalnya ditolak dengan
halus, atau tidak dijawab sampai waktunya, sehingga statusnya
menggantung, maka wanita itu tidak dikatakan sebagai wanita yang sudah
dikhitbah. Dan pertunangan belum terjadi.
Kepada Siapa Khitbah Diajukan?
Berbeda dengan yang sering kita saksikan di dalam film Barat, atau di
sinetron sesat tentang melamar seorang wanita, Islam punya prinsip
melamar yang unik.
Kalau di Barat sana, laki-laki melamar seorang
wanita untuk dijadikan istri. Posisinya biasanya si laki-laki berlutut
di depan wanita yang ingin dilamarnya itu, sambil mengulurkan cincin
pertunangan.
Tetapi dalam syariat Islam, lamaran itu bukan diajukan kepada wanita,
melainkan kepada ayah kandung sebagai wali dari wanita. Sebab beliau
lah nantinya yang akan menikahkan, kalau lamaran itu diterima dan
pernikahan terjadi.
Jadi dalam Islam tidak akan dikenal
ungkapan,"Will you marry me?'. Yang ada adalah pengajuan seorang
laki-laki kepada ayah kandung wanita yang ingin dinikahinya,
setidak-tidaknya berbunyi,"Kalau diizinkan, perkenankan Saya ingin
menikahi puteri Bapak".
Namun biasanya urusan melamar ini
dilakukan tidak langsung oleh calon suami, melainkan dengan mengajak
juga orang tuanya. Sehingga nanti yang menyampaikan lamaran itu pihak
orang tua laki-laki kepada pihak orang tua calon istri.
Belum Harus DiumumkanBerbeda
dengan pernikahan yang disunnahkan untuk diumumkan, sunnahnya lamaran
itu tidak diumumkan, tetapi dilakukan secara tertutup atau terbatas.
Mengapa demikian?
Karena
lamaran itu belum lagi merupakan kepastian sebuah pernikahan. Setelah
melamar, bisa saja lamaran itu diterima dan bisa saja tidak. Atau bisa
saja diterimanya nanti setelah beberapa waktu berlalu.
Nah,
kalau belum apa-apa, sebuah lamaran sudah diumumkan, maka kalau ternyata
tidak sampai ke jenjang pernikahan, tentu akan jadi sia-sia saja. Lain
halnya kalau sudah sampai kepada akad nikah, maka sunnahnya memang
diumumkan.
Pengajuan Lamaran Belum Berarti Sah dan DiterimaPenting
juga untuk dicatat bahwa yang namanya pengajuan lamaran itu bukan
berarti sudah mengesahkan calon istri sebagai wanita yang berstatus
makhtubah. Namun harus ada jawaban dulu dari pihak wanita tentang apakah
lamaran ini diterima atau tidak.
Kalau diterima, maka status
calon istri itu menjadi makhtubah, sehingga sejak saat itu hingga
pernikahan berlangsung, dirinya sudah tidak boleh lagi menerima lamaran
laki-laki lain. Atau sampai lamaran itu dimentahkan atau dibatalkan oleh
salah satu pihak, baik oleh pihak lak-laki maupun oleh pihak perempuan.
Calon Istri Belum Masih Wanita Ajnabi Yang Haram Diapa-apakan
Banyak orang keliru memahami, bahwa mentang-mentang sudah terjadi
lamaran, seolah-olah sudah layaknya jadi suami istri. Orang tua lantas
membolehkan pasangan ini kemana-mana berduaan, bahkan tidak sedikit
mereka yang sudah mendahului melakukan percumbuan sampai zina
bersetubuh.
Sayang sekali pandangn keliru ini kemudian dianggap biasa, seiring
dengan masuknya gaya hidup hedonis dan permisif yang melanda umat Islam.
Masyarakat seolah membolehkan kalau pasangan yang belum sah jadi suami
istri berduaan dan melakukan apa-apa yang sebenarnya belum boleh mereka
lakukan.
Dua Jenis Khitbah
Dalam menyampaikan khitbah dikenal ada dua macam metode, yaitu tashrih (تصريح) dan ta'ridh (تعريض).
1. Tashrih
Yang dimaksud dengan tashrih (تصريح) adalah ungkapan yang jelas dan
tegas, dimana khitbah disampaikan dengan menggunakan ungkapan yang tidak
bisa ditafsirkan apapun kecuali hanya khitbah. Seperti kalimat berikut
ini :
Saya melamar dirimu untuk kujadikan istriku
atau
Bila masa iddahmu sudah selesai, Aku ingin menikahi dirimu
Para ulama sepakat bahwa tashrih ini bila disampaikan kepada wanita
yang masih belum boleh dikhitbah, seperti wanita yang belum usai masa
iddahnya, hukumnya haram. Dasarnya adalah firman Allah SWT :
وَلاَ تَعْزِمُواْ عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىَ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ
Dan janganlah kamu ber`azam untuk beraqad nikah, sebelum habis `iddahnya.(QS. Al-Baqarah : 235)
Namun khitbah dengan cara tashrih ini boleh disampaikan bila wanita
yang dikhitbah memang seorang wanita yang bebas dari ikatan pernikahan
dan hal-hal yang sejenisnya.
2. Ta'ridh
Yang dimaksud dengan ta'ridh (تعريض) adalah penyampaian khitbah yang
menggunakan kata bersayap, sehingga bisa ditafsirkan menjadi khitbah
atau juga bisa bermakna sesuatu yang lain di luar khitbah.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabaakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA